Suara Hati Sang Madu
"Jadi kau yang bernama Nashwa?! Apa kau tak malu dengan umurmu yang masih belia ini menjadi simpanan suami orang?! Atau indahnya cinta telah membutakanmu hingga hanya suamiku lah yang nampak berkilau di sana?! Asal kau tahu, dia lelaki yang kini kau anggap sebagai sandaran hati itu telah berjanji untuk kebahagiaan dunia dan akhiratku bahkan saat kau masih duduk di bangku merah putih dengan hidung berair!" Hardik seorang perempuan yang dari kalimatnya dapat kutebak siapa gerangan yang angkuh berdiri, bangga menepuk dada di sini.
Terpaku aku menatap dirinya yang hadir, berdiri tegap dengan lautan bara. Namun, bergeming tak mampu kubalas meski hanya dengan satu kata.
"Sudah berapa lama kau menjadi gundik suamiku, Hah?! Harusnya sebelum kau putuskan untuk menikah dengan Bang Fatih, terlebih dahulu kau pikirkan bagaimana nasib istri dan anak-anaknya yang bahkan berjuang dengan segala nestapa hingga akhirnya lelaki itu kini bediri dengan kokoh. Andai kau tahu seperti apa keadaannya dulu, kurasa tak mau kau melihat apalagi menyentuh dirinya," Ada jeda dalam ucapan perempuan itu, dengan wajah memerah, hebat mulut itu gemetar sembari berkaca-kaca. Sungguh, aku pun tahu sedalam apa luka yang tertoreh dalam batinnya.
Dengan dada membuncah naik turun. Jelas, menandakan akan besarnya gelombang amarah juga kecewa yang kuat terpatri di kedalaman sana.
Panjang perempuan itu menghela nafas sebelum akhirnya pelan menghembuskan, Rapat ia menangkupkan kelopak netra hingga buliran bening mulai menetes menyeruak dari setiap sudutnya.
"Dulu dia bukanlah siapa-siapa, aku menerima lamarannya dengan tangan terbuka bahkan dengan setia menemani dan memberi dukungan, tertatih kupapah langkahnya meski dengan perut berdering, tak henti menguatkan kala dirinya berada di ujung keputusasaan. Meski hanya ruangan satu petaklah yang dia persembahkan sebagai balasan, tempat berteduh dari terik matahari juga deras air yang menetes ke bumi. Bukan hanya tempat tidur bahkan tamu pun duduk di lantai yang sama, di ujung ruang terpasang tirai sekitar satu meter yang kami pergunakan sebagai dapur. Bukan, sebenarnya hanya meja kecil sebagai tempat kompor dan beberapa piring," lirih perempuan itu hancur, tak henti menepuk bagian tengah dada.
Jauh manik itu menerawang seakan kembali melihat akan pedihnya masa yang pernah dilalui. Pilu tubuhnya lunglai jatuh tak berdaya di atas dinginnya lantai, kucoba mepahnya agar kembali tegak di atas kedua kaki. Namun, kasar perempuan itu menepis, kuat menghempaskan hingga aku terpelanting, tersungkur di sampingnya.
Mundur kuberingsut tanpa sekejap pun mampu membalas tatapannya, dalam tertuduk menatap ubin yang terlihat semakin samar tak terbentuk.
Andai maaf bisa berarti maka akan kuucap meski tanpa henti, andai sujud bisa berguna maka sanggup kucium kakinya meski sampai ajal tiba. Bila saja aku bisa meminta maka lebih baik tak kukenal Bang Fatih apalagi jatuh cinta padanya. Namun, rasa itu datang tiba-tiba, tanpa ijin merasuk, mengoyak kesucian hatiku.
Benar bila ada yang mengata, cinta tak bisa memilih untuk siapa dia akan melabuhkan rasa. Karena, itulah fitrahnya. Pun begitu dengan diriku yang tak mampu mengelak meski ribuan kali mencoba mengabaikan kehadirannya. Hingga, keangkuhanku runtuh tatkala Bang Fatih mengucap janji akan menikahiku, menanggung kebahagiaan untuk dunia juga akhiratku, menjadikan diriku yang kedua dengan dalih adil secara lahir juga batinnnya.
Meski itu berarti aku harus rela menerima takdir untuk berbagi raga yang sama dengan istri pertamanya.
"Maafkan aku, Mba. Sungguh tak ada sedikitpun niatku untuk merebut Bang Fatih apalagi merusak kebahagiaan rumahtanggamu. Namun, tak henti Bang Fatih meyakinkanku untuk menjadikan diriku madumu. Dan ...." Ucapku terhenti.
Kasar tangannya mulai menarik kerudung yang kukenakan hingga terlepas dari kepala. Tertegun aku menatap, tak menyangka akan sikapnya yang begitu kasar. Bukankah, semuanya bisa dibicarakan?!
"Mbak ...." Rintihku pilu, mencoba meraih kerudung dari genggamannya. Namun, dengan tangkas perempuan itu melempar sebelum aku mampu mengambilnya.
"Buat apa kau kenakan kerudung juga pakaian muslimah ini, bila adab sebagai seorang insan secuil pun tak kau pahami?! Bukankah dalam Islam jelas tertulis untuk meminta ijin bila hendak memakai milik orang lain?! Namun apa yang kau lakukan?! dengan sengaja kau mencuri milikku bahkan menuliskan hakmu diantaranya," cerca perempuan itu sinis, mencoba menusuk hatiku dengan telunjuk tangan juga ketajam lidahnya.
Hancur kututup wajah dengan kedua tangan, sungguh aku merasa hina, dikuliti tanpa henti seperti ini.
Lantas, salahku dimana? Aku telah mencoba menolak meski berakhir sia-sia, aku juga tidak berzina. Namun, mengapa aku harus dihujat sedemikian rupa. Apakah hukum Allah begitu hina di hadapan manusia?! Bukankah, seorang lelaki bisa memiliki istri lebih dari satu, asal adil untuk semuanya.
Jika berbicara tentang luka, aku pun merasakannya. Bahkan, setiap malam harus kulalui senyap sediri dalam keheningan. Meski, seharusnya ada kehangatan yang kudapatkan. Namun, ikhlas kurelakan walau dengan duka mendalam. Karena aku sadar, akulah sang madu, istri kedua yang kadangkala harus mengalah dengan dalih hukuman atas perebut suami orang.
Namun, apakah Islam mengajarkan seperti itu?! Tentu tidak bukan?!
Mendongak kini berani kubalas tatapannya, kencang detak jantung berdetak menandakan akan amarah yang hadir dari segala cerca.
"Iya, aku memang salah telah menerima Bang Fatih sebagai suami. Namun, apakah cuma aku satu-satunya tersangka disini, Mbak?! Jika saja Bang Fatih tidak henti menggoda pasti sudah lama aku meninggalkannya. Asal kau tahu Mba, aku juga korban dari sifat buaya suamimu itu. Apa kau kira aku sangatlah bahagia dengan pernikahan ini, sungguh aku hanya berkalung nestapa dengannya. Bila dulu bisa kau rasakan indahnya bulan madu, memadu kasih bersama seorang suami. Kini tak sehari pun kunikmati rasa itu. Karena aku harus mengalah demi kebahagiaanmu," ungkapku tajam tak terkendali.
Terbahak perempuan itu memarkan deretan gigi disela derai yang jua tak kunjung henti.
"Bukankah, memang itu yang harus kau terima sebagai seorang pencuri! Bahkan kurasa kau tak pantas menghirup udara di bumi ini," hina perempuan itu sembari bangkit dari duduknya.
Lebar kubulatkan kedua netra.
"Pencuri?! Kurasa itu sebutan yang sangat tidak pantas untukku karena tak ada seorang pun pencuri yang dipersilahkan masuk oleh tuan rumah. Bahkan, dihujani berbagai hadiah sebagai undangannya," balasku tegas tanpa sedikitpun gentar.
Angkuh perempuan itu masih berdiri menepuk dada hingga akhirnya meraih rambutku dan kuat menariknya.
"Pencuri seperti dirimu inilah yang tak pernah sadar akan betapa buruk perbuatannya bahkan dengan bangga kau sombongkan perangaimu itu!" Hardiknya kembali tanpa melepaskan rambutku. Meski aku telah berteriak meminta tolong.
****
Post a Comment for "Suara Hati Sang Madu"